Temaram menyambut kala waktu sudah semakin menua di penghujung hari. Aku yang tengah didekap sunyi tampak sayup menahan rindu, walau kurasa telah tuntas dengan sedikit kabar darinya.
Kisah ini bermula ketika Aku dan beberapa kawan tengah berkunjung ke kampus kesehatan guna mengkampanyekan gerakan menuju penolakan Omnibus Law. Tepat di bawah pohon kami bercengkerama dengan beberapa mahasiswi kampus tersebut, diskusi sedikit perihal kesehatan reproduksi yang jujur saja selain menambah wawasan juga membuat sedikit tegang bagi kami lelaki.
Seketika dua orang mahasiswi datang dan ikut nimbrung bersama, salah-satu di anataranya adalah adik dari kawanku. Singkat cerita kami pun berkenalan lanjut dengan sigap mendapatkan nomornya. Hari pun berlalu kami semakin intens berkomunikasi di What’s app.
Akhir September menuju oktober yang kian memerah, aku dan dia semakin intim dalam obroal digital. Sampai pada akhirnya kami berpacaran di tanggal 8 oktober 2020, tepat di hari ulang tahunku, sungguh begitu kado yang indah. Aku yang masih sibuk dengan urusan organisasi dan ke-aktivisanku sedang dia juga sibuk dengan dunia kampusnya yang padat jadwal, tugas dan praktikum. Di suatu waktu ia sempat berpesan, tepatnya sebelum aku turun ke jalan melakukan demonstrasi, “hati-hati, jangan sampai kita bertemu di rumah sakit”, aku tahu maksudnya, artinya bagaimana pun aku tidak boleh terluka, terlebih aksi itu di setting chaos.
Semakin berlalu rasa itu semakin menumbuh dalam dada, ada ketidakrelaan jika harus berpisah, sehari saja tak sanggup. Aku menghianati prinsipku yang tak mau berharap banyak pada manusia, cukup sama Tuhan saja.
Masa indah di awal pacaran memang tak bisa dinafikkan, hal itu kami sadari bersama setelah seringkali kemesraan diselingi dengan amarah, sedih dan kecewa. Aku sadar tidak semua yang aku pahami bisa ia pahami, begitu juga sebaliknya. Aku yang keras kepala dan ia yang mudah marah alias sensitive. Setiap setelah pertengkaran usai, kami kemudian kembali harmonis dengan canda tawa, mesrah penuh cinta, terkadang jadi budak cinta, kemudian kembali berjanji satu sama lain tak mengulang hal-hal yang bisa memunculkan pertengkaran-pertengkaran berikutnya.
Tapi nyatanya kami sama-sama belum dewasa pada saat tertentu, tapi bisa sangat dewasa juga pada kondisi tertentu. Oh iya sampai lupa, namanya Dita. Ia adalah sibungsu dari dua bersaudara. Dita yang hamper tiap harinya diantar jemput oleh A’ba (ayah)-nya bisa sangat lucu dan menggemaskan tapi juga di lain waktu, dalam kondisi tertentu bisa sangat menyeramkan.
Nampaknya berpacaran dengannya butuh kesabaran ekstra, sabar merindu tentunya. Dita yang manis nan manja tak mendapatkan waktu banyak untuk berlama-lama di luar rumah. Selain bersua di kampus, sesekali juga di rumah sakit, atau di secretariat organisasiku, itu pun hanya karena berhasil mencuri sedikit waktu.
Tapi untungnya hampir tiap malam kami saling berkabar lewat telfon, video call atau sekedar pesan singkat di WA, setidaknya bisa menjadi penawar rindu, terelebih ketika ia sudah memasang wajah musam saat aku lupa memberikan pelukan digital sebelum menutup telfon. Hal itu kadang membuatku sedikit tertawa, dalam hati kadang berucap, “ lucu juga yah pacaran sama ponakan”, candaku sambil tertawa.
Bersambung, capek nulis heuheu…

0 Komentar