Meningginya tensi gerakan mahasiswa belakangan ini banyak menuai pertanyaan, tidak jarang kritikan dari berbagaimacam elemen turut menyerang balik. Kritikan itu bermacam-macam dari menyoal kesatuan gerak dan main issue yang dibawa mahasiswa sampai soal analisa bahwa gerakan mahasiswa yang meninggi beberapa hari terakhir adalah merupakan kendaraan dari penumpang gelap yang tidak lain adalah kelompok politik yang belum move on dari kekalahan pilpres 2019 lalu.
Terlepas dari apa yang menjadi proyeksi dari gerakan mahasiswa hari ini, yang perlu menjadi pengetahuan bersama bahwa saat ini memang Indonesia sedang tidak baik-baik saja. Ada banyak produk hukum yang kemudian (menurut mahasiswa) melatarbelakangi gerakan “kuliah umum” di jalanan.
Terkait soal penumpang gelap, memang tidak bisa dinafikkan
bahwasanya ada beberapa kelompok politik yang berusaha memposisikan diri di
situasi yang tengah genting ini. Hal ini lah yang kemudian terkadang mencederai
gerakan ketika mahasiswa kurang jeli melihat hal tersebut, terlebih gerakan
mahasiswa masih memperlihatkan eksklusifismenya (terkhusus di daerah), dan hal
tersebut yang kemudian terkadang menjadi celah kelompok politik untuk merangsek
masuk ke dalam riuh gerakan mahasiswa. Tetapi mahasiswa
menepis berita seperti di atas, menurutnya, gerakan mahasiswa yang seketika
meninggi ini adalah bentuk akumulatif gerakan, yang di mana ditopang oleh
berbagaimacam persoalan, seperti isu rasialisme di Papua, kebakaran hutan di
Sumatera dan Kalimantan, pelemahan KPK, sampai pada produk hukum yang tidak pro
terhadap rakyat.
Panasnya ruang demokrasi kita, serta ujian reformasi yang kian
sulit memaksa mahasiswa dan beberapa elemen rakyat lainnya segera bertindak,
dan langkah politik jalanan adalah satu-satunya cara untuk mampu mengetuk
tembok tirani yang kian meninggi dan berkawat duri. Tetapi ada beberapa hal
yang perlu diketahui dan mungkin menjadi PR bagi gerakan mahasiswa kedepan.
Menyoal Kelanggaman Gerak
Tulisan ini berkaca pada daerah, terkhusus aksi-aksi yang terjadi di Kab. Polewali Mandar dan Majene, Sulawesi Barat. Dari berbagai aksi yang telah dilakukan oleh ragam kelompok mahasiswa di Polman, memperlihatkan ketidakmatangan dalam gerak. Penyakit eksklusifisme masih menjadi persoalan klasik yang belum mampu diobati. Gerakan yang masih sektarianis jelas akan mengurangi kualitas gerakan, karena kepentingan yang dibawa otomatis akan mengikut pada putusan-putusan kelompok masing-masing.
Ketidakmampuan melanggamkan gerak mempengaruhi isu
dan tuntutan yang dibawa. Semisal undur dirinya KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa
Muslim Indonesia) dan PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia) dari lingkar
konsolidasi yang dipengaruhi oleh isu dan tuntutan. Memang kita tidak bisa
menegasi pengkajian isu dari masing-masing kelompok, tetapi mencari kesamaan
demi kepentingan bersama (rakyat) adalah yang urgen, bukan sebaliknya,
mengikuti ego kelompok dan kemudian berimbas pada melemahnya gerakan dan
persatuan.
Hal ini memang bukan masalah baru jika berbicara soal gerakan
mahasiswa, terkotak-kotakannya gerakan mahasiswa menjadi salah-satu sebab,
belum lagi budaya dan tradisi di masing-masing kelompok turut mempengaruhi ;
Budaya Senioritas, budaya senioritas di
berbagai kelompok mahasiswa menjadi salah-satu hal yang terkadang melemahkan
gerakan bahkan kelompok itu sendiri, contoh kasus semisal perencanaan aksi di
gedung DPRD, tetapi karena tahu bahwa di sana ada banyak senior dan alumni dari
organisasi tersebut, akhirnya mengurungkan niat dan menciutkan nyali.
Budaya Instruktif, tak ada yang salah
sebenarnya dari hal-hal yang terkesan instruktif, tetapi selama ia berasas pada
sentralisme demokrasi atau musyawarah mufakat, artinya apa yang diinstruksikan
merupakan hasil dari ruang demokrasi organisasi. Tetapi kenyataannya ada
beberapa kelompok mahasiswa yang belum mampu menghilangkan itu, seperti contoh
aksi serentak PMII beberapa hari yang lalu, aksi tersebut coba menyikapi soal
pemberantasan Korupsi di tubuh KPK, menurut mereka KPK saat ini dikuasai oleh
kelompok Taliban yang justru melemahkan KPK itu sendiri, olehnya mereka
mendukung revisi UU KPK yang telah di sahkan oleh DPR RI (bertentangan dengan
tuntutan gerakan mahasiswa saat ini), tetapi dari aksi tersebut, kesan yang
diperlihatkan (ke Publik) justru seolah-olah menolak penahanan Imam Nahrawi
Mantan Kemenpora-yang juga merupakan senior mereka-di mana aksi tersebut
berlangsung tidak lama setelah penahanan Imam Nahrawi terkait kasus suap KONI.
Tetapi bukan itu yang kemudian menjadi hal yang akan saya
sampaikan terkait Budaya Instruktif, melainkan cara eksekusi aksi serentak yang
terkesan terburu-buru dan spontan, tanpa adanya pengkajian isu mendalam di
tubuh PMII sendiri, mungkin ada, tapi apakah juga dilakukan pada ruang-ruang
diskusi akar rumput ? (cabang, komisariat dan rayon). Seolah instruksi aksi
serentak langsung turun dari pusat, pertanyaan kemudian, apakah kader yang ada
di daerah (cabang dll.) paham terkait isu dan tuntutan yang dibawah, saya yakin
bahwa beberapa mahasiswa yang turun aksi serentak kemarin memiliki pengetahuan
yang mengambang terkait isu yang dibawa, jika pun ada yang paham paling
kalangan elite organisasi saja.
Masalah senioritas dan instruktif memang masalah kompleks yang
turunnya bersamaan, instruksi lahir dari budaya senioritas yang seolah
mengekang kemerdekaan anggota untuk menganalisa dan berbicara.
Memposisikan Gerakan Nasional dan Daerah
Negara kepulauan menjadi keunikan tersendiri jika berbicara soal
geo-ekopol di Indonesia, aksi menyikapi isu nasional di Makassar semisal jelas
akan menyusahkan jika harus long march ke Ibu Kota
untuk menyampaikan aspirasi, olehnya sangat dibutuhkan aksi serentak, daerah
dan pusat.
Melihat aksi mahasiswa beberapa hari terakhir (terkhusus di
daerah) masih belum mampu memposisikan gerakannya, dan bagaimana kemudian
seolah menyatukan gerak dengan aksi-aksi di daerah lain terkhusus di Nasional,
atau Ibu Kota.
Aksi di Ibu Kota sangatlah penting karena bagaimana pun
merekalah yang berhadapan langsung oleh institusi penentu kebijakan, legislatif
dan eksekutif. Belum lagi publik akan (secara tidak langsung) terfokus pada
aksi yang ada di Ibu Kota, karena media dan perangkat-perangkat seperti medsos turut
mendukung publikasinya.
Jika menyoal isu dan tuntutan aksi mahasiswa belakangan ini,
lalu bagaimana seharusnya gerakan mahasiswa di daerah memposisikan diri,
pertama perlu diketahui bahwa kelanggaman isu adalah yang terpenting, agar
kefokusan gerak juga terus terkontrol, artinya gerakan yang serentak terjadi
menyikapi isu dan tuntutan yang sama (terlepas dari beberapa poin yang telah
disampaikan sebelumnya terkait kelanggaman gerak). Kedua, gerakan mahasiswa di
daerah hanya sebagai penopang gerak yang ada di nasional, mengapa demikian ?
karena (sekali lagi) gerakan di nasional yang berhadapan langsung oleh penentu
kebijakan, semisal soal penolakan RKUHP, aksi di daerah yang mencoba
bernegosiasi dengan pihak DPRD kabupaten tidak akan menghasilkan poin-poin yang
signifikan, karena logikanya, tidak mungkin DPRD kabupaten mampu mengintervensi
full DPR RI, justru sebaliknya.
Lalu apa yang seharusnya dilakukan, ialah tetap meninggikan
tensi di daerah, dan memperkuat politik atasnya (akan dibahas pada poin
selanjutnya). Bahkan jika harus chaos, maka mau tidak mau itu
harus dilakukan demi menopang gerakan yang ada di nasional.
Jika dianggap bernegosiasi dengan institusi pemerintahan daerah
tetap harus dilakukan, maka sebaik-baiknya ada beberapa isu dan tuntutan lokal
yang disikapi. Kita bisa melihat aksi mahasiswa di Kab. Majene, mereka tetap
berusaha bernegosiasi dengan DPRD, tetapi kemudian lebih menguatkan tuntutan
lokal yang dibawanya, seperti reklamasi pantai majene.
Politik Bawah dan Politik Atas Gerakan Mahasiswa
Perlu diketahui bersama bahwa gerakan mahasiswa bukan hanya soal
aksi demonstrasi di jalanan, tapi juga soal edukasi sesama mahasiswa dan elemen
rakyat lainnya, buruh, nelayan, petani, miskin kota, dll. Karena dengan
demikian tensi gerakan mahasiswa akan tetap stabil.
Dua poin (politik bawah dan atas) ini sangatlah penting menjadi
pengetahuan bersama. Lalu apa yang dimaksud dengan politik bawah dan politik
atas ? politik bawah ialah soal bagaimana menguatkan gerakan mahasiswa secara
internal, dari soal merapihkan konsolidasi, mematangkan kajian isu, serta
menguatkan perangkat aksi.
Aksi pertama yang dilakukan oleh Aliansi Mahasiswa Polewali
Mandar (AMPM) pada tanggal 25 kemarin memperlihatkan jelas ketidakmatangan
politik bawahnya, blundernya konsolidasi-konsolidasi, tidak matangnya kajian
isu, dll. Sangat akan mempengaruhi gerakan mahasiswa itu sendiri.
Politik bawah mencakup soal kerja-kerja produktif dan progresif
gerakan mahasiswa dalam hal ini Aliansi Mahasiswa Polewali Mandar, kerja
produktif yang dimaksud bukan hanya soal turun ke jalannya, melainkan
kerja-kerja sebelum dan sepulang dari jalanan, seperti konsolidasi ; jika
diharuskan memiliki sekretariat bersama (sekber), maka hal itu sangat akan
membantu, sekber akan menjadi pusat kegiatan dan konsolidasi-konsolidasi.
Konsolidasi juga harus dipahami bahwa tidak hanya untuk
memperkuat lingkar gerakan yang sudah ada tapi bagaimana kemudian tetap membuka
ruang dan menggalang kekuatan yang lebih besar (kuantitas). Selain konsolidasi
tetap terbuka, diskusi-diskusi juga harus tetap berjalan, diskusi yang
dimaksudkan ialah soal bagaimana mematangkan kajian isu dan memberikan
pemahaman kepada semua orang yang terlibat di dalam aliansi (kualitas).
Tidak berhenti sampai disitu, kerja-kerja produktif lainnya bisa
sangat membantu ekonomi mandiri gerakan mahasiswa, karena perangkat-perangkat
seperti sekretariat, sound system atau mobil komando (Mokom) saat aksi, serta
selebaran-selebaran dan konsumsi akan membutuhkan pendanaan yang tidak sedikit.
Untuk menopang itu bisa dengan menggalang dana dari kalangan mahasiswa itu
sendiri, semisal dengan bazar dan konser musik, olehnya perlu menggalang
kekuatan ke dalam lingkup internal kampus, ada banyak UKM seperti Kosaster di
Unasman, Kospeta dan Bala Tau Art di IAI DDI, atau UKM-UKM lainnya yang bisa
mengkuantitas dan mengkualitaskan gerakan.
Sedangkan politik atas terkait soal kampanye dan publikasi.
Politik atas sangat dipengaruhi oleh politik bawah, jika politik bawahnya
matang maka politik atasnya juga akan matang dan kuat, dan politik ataslah yang
kemudian akan membuktikan apakah gerakan mahasiswa di daerah benar mampu
bersinergi dengan gerakan di daerah lain, atau yang ada di nasional (pusat).
Tidak bisa dipungkiri bahwa ada banyak media mainstream yang
tidak bisa menjadi corong gerakan ke publik, karena media-media
mainstream yang ada saat ini, banyak dimiliki oleh elite politik itu sendiri,
stasiun televisi misalnya, hampir semua merupakan milik dari elite politik atau
pengusaha-pengusaha yang menggantungkan usahanya pada kebijakan pemerintah.
Jika pun bukan milik elite, kebanyakan media juga hanya menyoroti kerusuhan dan
anarkisme saat demonstrasi mahasiswa, yang memang akan menopang rating dan jumlah viewers medianya.
Lalu apa yang harus dilakukan ?. Menyambung pembahasan soal
politik bawah, politik atas justru menjadi kerja-kerja produktif sebelum dan
sesudah aksi, atau justru saat aksi. Meminta atau pun tidak, media mainstream
tetap akan menyoroti aksi mahasiswa, tetapi untuk membuat perimbangan atau
bahkan klarifikasi jika ada media yang menelintir isu dan tuntutan atau bahkan
berusaha memprovokasi, gerakan mahasiswa juga harus mampu mengkampanyekan
gerakannya ; isu dan tuntutan.
Perangkat-perangkat teknologi seperti media sosial saya pikir
sangat membantu dalam mengkampanyekan gerakan, bisa juga dengan selebaran
reguler yang tidak hanya dibagikan kepada mahasiswa tetapi juga ke masyarakat
umum. Selebaran ini bertujuan untuk memberikan pemahaman dan penjelasan terkait
situasi terkini dan apa yang sebenarnya melandasi gerakan mahasiswa meninggi,
singkatnya kenapa mahasiswa turun kejalan.
(Sekali lagi) terlepas dari apa yang kemudian menjadi proyeksi
gerakan mahasiswa yang tengah meninggi ini, saya pribadi sangat mendukung
langkah yang telah ditempuh. Keran demokrasi yang terlihat mulai disumbat,
menjadi alasan utama mengapa kita kemudian harus bersuara lantang dan
menggaungkan kembali politik jalanan ala mahasiswa.
Semoga kalimat azimat “buat apa banyak baca buku, kalau
mulut kau bungkam melulu” dari Wiji Thukul mampu merangsang nalar
untuk berpikir lebih kritis, dan semoga petuah “jika hatimu bergetar
melihat penindasan, maka kau adalah saudaraku” dari perawat Argentina,
Ernesto (che) Guevara mampu meluluhkan ego dan apatisme kita terhadap
lingkungan sekitar.
(Tulisan lama)
Amerialdi Ilham Said.

0 Komentar