PROLOG - Belum kering luka robek bekas peluru karet di lengan para demonstran pada saat aksi menolak omnibuslaw, kini pemerintah kembali memperlihatkan ketidakberpihakkannya pada rakyat dengan berbagai macam kebijakan yang justru mencekik dan menghisap tanpa ampun.
Demokrasi betul-betul telah dikangkangi oligarki, kepentingan yang berseliweran di ruang-ruang rapat hanyalah kepentingan golongan politik sendiri, pertaruhan yang ada bukanlah tentang bagaimana mensejahterakan rakyat sebagaimana amanat UUD 1945, melainkan bagaimana memenangkan koalisi politik agar tetap bisa melakukan penindasan dan penghisapannya.
Api amarah telah bergejolak sedari kemarin, gelombang perlawanan telah lama menderu serta suara serak orator kian lantang diperdengarkan, tetapi apa yang rakyat dapati ? ialah janji-janji manis yang menyamarkan kebohongan. Rakyat yang bersuara dipidanakan, mahasiswa yang turun ke jalan dipersekusi habis-habisan oleh aparat yang gajinya dibayarkan oleh pajak rakyat.
Pandemi yang kian kesini terus menakut-nakuti mata pencaharian rakyat tak juga mendapat penyelesaian, bukannya fokus pada penanganan pandemi, pemerintah justru menunjukkan kebengisannya dengan mengeluarkan beberapa kebijakan seperti kenaikan harga BBM, PPN, dan ketidak-stabilan harga sembako di pasaran yang tentu akan semakin memperburuk kondisi ekonomi masyarakat.
Di saat rakyat merintih di dapur rumahnya masing-masing, riuh rendah istana oleh elit politik malah semakin menunjukkan kengawurannya dengan mewacanakan penundaan pemilu yang tentu telah menelanjangi habis-habisan konstitusi. Kami sadar bahwasanya bukan hal yang tidak mungkin penundaan itu terjadi karena secara mekanisme bisa dilakukan dengan mengamandemen UUD 45 dan atau melakukan Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi, namun wacana itu tentu ditakutkan karena potensial disisipi penumpang gelap yang berorientasi pada perpanjangan masa jabatan presiden, di mana hal tersebut berindikasikan pada narasi-narasi politik oligarki yang penindasan dan penghisapannya tak berkesudahan.
KRISIS EKONOMI – Kenaikan harga BBM nonsubsi, kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) hingga 11% serta ketidakstabilan harga bahan pokok di pasaran ialah buah dari krisis ekonomi global yang saat ini telah berlangsung, belum usai penanganan pertumbuhan ekonomi secara global akibat pandemi, kini krisis semakin diperparah oleh ketegangan internasional oleh kelompok imperium yang tentu berdampak pada negara-negara dunia ketiga, salah-satunya Indonesia.
Kelabilan dan ketidaksiapan pemerintah indonesia menyambut itu terlihat dari bagaimana dan untuk apa kebijakan dibuat. Kita diperlihatkan secara terang-terangan logika sesat pemerintah yang menganggap hal demikian wajar karena konsumsi masyarakat semakin meningkat. Padahal secara teoritis, pertumbuhan konsumsi meningkat jika persentasi kesejahteraan rakyat juga semakin ditingkatkan ; lapangan pekerjaan, upah buruh, dan beberapa barometer peningkatan kesejahteraan lainnya tercapai.
POLMAN JAGO SAMPAH – Pada April yang kian menyala, rakyat juga tak henti-hentinya menyuarakan keresahan atas penumpukan sampah, tetapi apa yang didapati ialah kabar kelambanan pemerintah daerah mengurusi itu, padahal estimasi anggaran yang digelontorkan tidak berada pada angka sedikit, sampai saat ini kami masih menunggu kerja konkret pemerintah dalam menangani persoalan ini, dan dengan tegas “sebagai hal yang mendesak”, jika belum juga segera ditangani, maka jangan salahkan rakyat jika menjadikan kantor-kantor pemerintahan sebagai TPA sampah di Polewali Mandar.
Demokrasi kian terang dikangkangi oligarki, seluruh elemen rakyat sudah seharusnya melanggamkan gerakannya, dan menyadari bahwasanya kesewenang-wenangan dan ketidakadilan adalah musuh yang nyata, musuh bersama.

0 Komentar