Perjuangan gerakan mahasiswa dan rakyat di
tahun 1998 menghasilkan reformasi yang telah membuka ruang demokrasi. Namun
dalam perjalanannya, elit-elit politik borjuis yang mendapatkan kekuasaan
seolah hanya estapet kekuasaan, dengan mempertahankan sisa-sisa Rejim Militer
Soeharto dan tetap saja melemahkan gerakan rakyat. Mereka menerapkan
neo-liberalisme sementara ruang demokrasi dipersempit untuk mempelancar
penerapan tersebut. Semakin banyak kemiskinan, semakin banyak penderitaan,
kesengsaraan, represi dan kekejaman menjadi tanah subur bagi berkembangnya
ideologi reaksioner, rasisme, dan fasisme termasuk juga di dalam dunia
akademik.
Telah tercatat terjadi (kurang lebih) 23
kali kasus pemberangusan kebebasan demokrasi di kampus pada periode Desember
2014-Desember 2015. Birokrat kampus menjadi pelaku pemberangusan paling banyak
(sebesar 42,1 %) disusul aparat negara dan milisi sipil reaksioner.
Paling baru, pelaku pemberangus ruang
demokrasi di kampus adalah Rektorat Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa (UST)
Yogyakarta, yang membungkam Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Pendapa. Melalui
rilisan persnya, LPM Pendapa menyatakan bahwa upaya-upaya pembungkaman telah
dilakukan oleh Rektorat UST Yogyakarta, seperti: tidak mengesahkan
kepengurusan, menyetop pendanaan, hingga mengancam pengosongan secretariat.
Setahun yang lalu, majalah Lentera di
Universitas Kristen Satya wacana (UKSW), Salatiga, Jawa Tengah dibredel Dekanat
dan Polisi. Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Komunikasi (UKSW), Daru Purnomo
mengeluarkan surat pernyataan penarikan majalah Lentera di UKSW, Salatiga, Jawa
Tengah. Sebanyak 500 eksemplar majalah Lentera edisi 3/2015 dengan tema
“Salatiga Kota Merah” yang membahas tentang sejarah PKI, ditarik dari peredaran
karena dianggap berdampak negatif di kalangan masyarakat.
Mei 2016, Buletin Poros edisi Magang yang
kedua mengangkat isu tentang pendirian Fakultas Kedokteran. Dalam berita itu
ditulis bahwasanya kampus saat ini masih belum maksimal dalam fasilitas namun
tetap membuka Fakultas Kedokteran. Berkat berita ini Fadlil (Wakil Rektor III
Universitas Ahmad Dahlan) kemudian mengatakan dia kecewa dengan Poros dan
menuduh Poros sudah keterlaluan dalam pemberitaan. Menurut Poros, hal senada
juga disampaikan oleh Hendro Setyono, Kepala Bidang Kemahasiswaan dan Alumni
UAD, bahwa Poros selalu menjelek-jelekkan kampus dan menuduh kami yang ada di
Poros tidak suka dengan UAD.
September 2016, Birokrat UMY membubarkan
Perpustakaan Jalanan Komunitas Rakyat Sastra dengan alasan tidak memiliki izin
dan ilegal. Rahmadi, kepala Urusan Keamanan Biro Umum UMY, menyatakan “Hanya
organisasi internal yang diperbolehkan, sedangkan organisasi eksternal
dilarang”.
Gerakan mahasiswa yang punya kekhususan
tersendiri juga tak luput dari hal-hal semacam diatas. Universitas Muhammadiyah
Parepare pernah mengisahkan beberapa bentuk pemberangusan ruang demokrasi
kampus. Salah-satu contoh dan bukti ialah pembekuan lembaga pers mahasiswa
PENA. Pembekuan LPM PENA jelas menjadi serangan dari birokrat kampus yang
sedang tidak sehat-sehat saja. Artinya, ketakutan birokrasi kampus terhedap
terbangunnya gerakan mahasiswa yang massif dan progress, yang sejatinya membawa
budaya-budaya lama, dimana diskusi-diskusi sering kita temui, minat baca yang
meninggi, partisipatif mahasiswa terhadap beragam isu ekonomis maupun politis,
dan tentunya menyebarnya mahasiswa-mahasiswa kritis yang geraknya bervisi
kerakyatan.
Ternyata tak hanya di UMPAR, baru-baru ini
di STAIN Parepare ada beberapa isu yang terdengar menyoal pemberangusan ruang
demokrasi kampus. Tepatnya disaat penerimaan mahasiswa baru / OPAK kemarin.
Dari seluruh rangkaian acara, ada hari dimana orang tua/wali mahasiswa baru
bertemu dengan pihak kampus yang bahasanya Silaturahmi.
Di pertemuan tersebut ada indikasi pelarangan berorganisasi untuk mahasiswa
baru, pelarangan yang disampaikan tidak secara langsung oleh pihak kampus
kepada orang tua/wali. Walau pun kebenaran soal isu tersebut belum terkonfirmasi,
tetapi beberapa narasumber yang kami temui meng-iyakan bahwa benar terjadi
demikian di pertemuan tersebut.
Selain adanya indikasi pelarangan
berorganisasi kepada mahasiswa baru, STAIN Parepare juga telah mewacanakan
pemangkasan waktu berkegiatan di jam malam. Jika dianggapnya bahwa tulisan ini
mengada-ngada karena isu yang diangkatnya hanya berdasar penerkaan, karena hal
tersebut sudah menjadi rahasia umum di dunia akademik hari ini. Tidak jarang
lagi kita temui atau dengar hal serupa. Mulai dari pembubaran diskusi, merevisi
regulasi kampus yang seolah menyempitkan ruang gerak mahasiswa hanya sebatas
mengurusi akademiknya saja, dan juga intimidasi-intimidasi secara langsung atau
tidak langsung kepada individu atau kelompok mahasiswa yang kritis terhadap
birokrasi kampus.
Tidak hanya hal diatas yang membuat
mengendornya gerakan mahasiswa, paradigma umum di kepala orang tua mahasiswa
atau di masyarakat umum membuat ruang kreatif mahasiswa seperti organisasi
dianggap hal yang negatif. Anggapan bahwa berorganisasi akan menghambat proses
akademik yang sejak tahun 2015 telah dipangkas lagi menjadi 5 tahun, tak mampu
menyelesaikan itu berarti DO.
Kita ketahui
bersama bahwa mahasiswa memiliki sederet titel sosial mulai dari agent
of change, agent of social control dsb. Bahkan, menurut sebagian besar
masyarakat menyebut mahasiswa adalah orang yang serba bisa, serba tahu yang
dianggap mampu menyelesaikan segala persoalan dengan memanfaatkan pisau
analisisnya. Namun, apakah yang terjadi saat ini? Keadaan mahasiswa di mata
masyarakat justru berbeda dari apa yang diharapkan. Mahasiswa tidak lagi
merakyat dan menyatu dengan rakyat. Justru mahasiswa membuat sekat dengan
merasa lebih elit dengan segudang citranya yang berjuluk intelektual muda.
Melihat kondisi saat ini, dimana ruang-ruang demokrasi kampus mulai
dipersempit, dimana minat baca dan diskusi mengurang, itulah yang kemudian
melahirkan mahasiswa-mahasiswa yang tidak cakap dalam penyikapan dan
pendampingan isu. Mahasiswa
lupa akan tugas beratnya serta kodratnya sebagai penuntut ilmu dan penyebar
ilmu, meneliti dan inovatif serta mengabdi kepada masyarakat (tri dharma
perguruan tinggi). Menurunnya peserta yang memilih jalan untuk aksi turun ke
jalan dan sedikitnya mahasiwa yang mengikuti kajian serta diskusi tentang
masalah bangsa dan rakyat merupakan salah satu indikator bahwasanya banyak
sekali mahasiswa yang ragu dan bahkan terkesan tidak mau untuk berpanas-panasan
di jalan. Padahal mahasiswa merupakan bagian dari elemen rakyat yang posisinya
sangat central yang bertugas sebagai “agen”-katanya-pengingat
keadaan bangsa yang sebenarnya.
AI Said

0 Komentar