Pertengahan tahun 2015 gerakan rakyat dipukul mundur, tidak
terkecuali gerakan mahasiswa. rezim Jokowi-JK yang membawa semangat pembangunan
Infrastruktur dengan Paket ekonomi jilid I-VIII serta menyambung dan memperkuat
program MP3Ei setelah berakhirnya kepemimpinan rezim SBY-Boediono di tahun
2014. Tidak hanya itu, di era pasar bebas (yang memaksa negara lepas kendali
dari proses dagang dunia) atau yang sering kita sebut Neo-liberalisme, memaksa
rezim Jokowi-JK lalu lalang dari lingkaran satu ke lingkaran lainnya. Banyaknya
lingkaran atau organisasi-organisasi dagang (konsentrasi modal) dunia yang
telah dimasuki Indonesia yang memang punya daya tarik dan kekhasan tersendiri
dalam pandangan kelompok imperium, seperti misalnya G8, G20, WTO, serta
kesepakatan-kesepakatan seperti AFTA, GATS (WTO), dll.
Namun karena kondisi ekonomi global yang tengah dilanda
krisis memaksa rezim Jokowi-JK tidak hanya stag melelang Indonesia di
lingkaran-lingkaran modal di atas, tetapi juga dengan hubungan Multilateral dan
bilateral yang dijalinkan.
Tujuan pembangunan infrastruktur tidak lain untuk
memperlancar perputaran modal secara Nasional, bagaimana kemudian produksi dan
distribusi tidak pernah terhenti, karena harus di akui hal demikianlah yang
menopang Indonesia kini yang katanya kaya akan kekayaan alamnya.
Bagaimana rezim Jokowi-JK melancarkan pembangunan
Infrastruktur, padahal hutang sudah hampir menyamai APPBN yaitu 3.800 triliun
dan diperkirakan tahun depan mencapai 4.000 triliun yang artinya setiap kepala
rakyat Indonesia menanggung hutang 18 juta. Kembali ke pertanyaan sebelumnya,
bagaimana rezim Jokowi-JK melancarkan pembangunannya ? sumber APPBN selain
pajak adalah investasi BUMN, nah di rezim Jokowi-JK (demi melancarkan
pembangunan) berbagaimacam sumber pun dibuka, mulai dari TDL, subsidi BBM, dan
yang terbaru ialah alokasi dana Haji serta wacana zakat untuk negara.
Pertanyaan berikutnya adalah, apakah dengan hal demikian
diatas saja kemudian melancarkan pembangunan infrastruktur yang menjadi
semangat Rezim Jokowi-JK ? tidak ! gerakan rakyatnya harus di redam,
organisasi-organsiasi kritis mulai dari buruh, petani, sampai mahasiswa harus
disumbat mulutnya dan batasi geraknya, dengan apa ? jelas dengan
regulasi-regulasi yang tidak memihak kepada rakyat dalam hal ini elemen-elemen
kritis.
Gerakan buruh dipukul mundur di pertengahan tahun 2015
dengan RPP no. 78 yang akhirnya disahkan juga. Gerakan buruh masih sempat
mempertahankan eksistensinya dengan melakukan konsolidasi serta aksi demi
menolak pengesahan RPP no. 78. Namun hal demikian justru membuat gerakan buruh
kalah telak, selain RPP 78 yang di sahkan menjadi PP 78 2015, gerakan buruh pun
dihadapkan pada persoalan kriminalisasi dan bentuk-bentuk intimidasi secara
langsung maupun tidak langsung.
Gerakan buruh pun terjebak didalam lingkar ekonomismenya,
seperti menyikapi permasalahan-permasalahan klasik seperti Upah layak, sistem
kerja kontrak dan outsourching, dan juga union busting. Terakhir dan baru-baru
ini dihadapi adalah revisi UU no 13 tahun 2003, padat karya (pemangkasan upah)
khusus wilayah Jawa Barat, serta mekanisme terbaru sistem kerja magang.
Tidak hanya buruh, begitupun Petani dan nelayan.
Petani-petani dihadapkan pada pembebasan lahan pertanian, dengan alasan
pembangunan infrastruktur penopang modal tadi, seperti bandara, jalan tol,
serta rel kereta api, dan juga pembangunan pertambangan seperti halnya masalah
yang dihadapi masyarakat kendeng. Lain halnya petani, nelayan-nelayan serta
masyarakat pinggiran kota atau yang biasa disebut KMK (kaum miskin kota),
mereka dihadapkan pada masalah reklamasi dan penggusuran dengan alasan
penertiban dan tata ruang kota.
Permasalahan-permasalahn yang dihadapi rakyat diatas tak
membuat mahasiswa kemudian menjadi eksis dalam hal penyikapan, justru
sebaliknya, gerakan mahasiswa justru mengendor juga bahkan kehilangan kecakapan
sebagai seorang “Agent” di tengah-tengah rakyat.
Hal yang sama juga dialami mahasiswa, regulasi dan kebijakan
yang membuat mahasiswa tidak mampu bergerak leluasa ialah dengan penyempitan
ruang demokrasi, apalagi setelah dikeluarkannya PERPPU Ormas no. 2 tahun 2017.
Penyempitan ruang demokrasi dapat juga kita lihat dari bergitu refresifnya
negara terhadap gerakan-gerakan kritis, pengawasan/pengontrolan mahasiswa dengan
regulasi kampus, yang membuat mahasiswa hanya terfokus mengerjakan rutinitas
akademisnya semata, kalau pun berkegiatan, paling tidak mengerjakan
kegiatan-kegiatan Event Organizer.
Itulah yang kemudian membuat mahasiswa kehilangan jati
dirinya, kehilangan budaya dan tradisinya, sudah jarang lagi kita temui
diskusi-diskusi, konsolidasi dan aksi-aksi. Jika pun hal demikian diikhwalkan,
permasalahan-permasalahan seperti diatas akan dialami, seperti refresifitas
serta intimidasi dari aparat dan birokrasi kampus itu sendiri. Belum lagi
politik identitas atau kelompok fundamentalis akhir-akhir ini mengambil alih
panggung.
bersambung....
AI Said

0 Komentar