Daun berguguran di pelataran kampus UTS (Universitas Tarik Selimut), udara pagi menyejukkan orang-orang yang tengah berlalu-lalang dengan tumpukan kertas dalam map biru di tangannya. Mereka adalah mahasiswa baru yang tengah berurusan dengan pihak kampus, tepatnya sedang melakukan transaksi jual beli antara pendidik dan anak didik.
Di sudut kampus, tepatnya di
taman mini Fakultas Teknik, Anwar dengan gitar- koboy dengan sticker Yamaha-nya
tengah bersenandung mesrah. Melirikkan mata genitnya ke arah mahasiswi baru
yang banyak berkerumun di depannya, “di
dalaaang... muka-muka SMA...”, ucap genit Anwar dalam hati.
Anwar adalah mahasiswa semester V
Fakultas Teknik, ia merupakan anak broken
home, ayah dan ibunya bercerai saat Anwar masih duduk di bangku kelas 3 SD,
Ayahnya kemudian menikah lagi, begitu pun ibunya. Tetapi Anwar lebih memilih
untuk tinggal bersama Nenek dan tantenya, adik dari Ayahnya. Saat Anwar masih
SMA, ia mengalami kesedihan mendalam karena sang nenek akhirnya meninggal
karena sakit yang dideritanya. Anwar kemudian tinggal bersama tantenya, Tante
Mia.
Walau pun Ayah Anwar setiap
bulannya menitipkan uang untuk Tante Mia guna biaya pendidikan dan hidup Anwar,
tetapi Tante Mia tetap bekerja keras setidaknya untuk menambah tabungan
pendidikan dan untuk masa depan Anwar. Tante Mia sangat menyayangi keponakannya
itu. Bagi Tante Mia, kesibukannya hanya tiga hal; Pertama, menjual di warung
kecil miliknya, merawat dan menjaga Anwar, dan meng-ghibah bersama ibu-ibu yang
lain.
Kembali ke taman mini
Fakultasnya, Anwar juga banyak melihat sesamanya mahasiswa lama tengah sibuk
membantu adik-adik mahasiswa baru selaku panitia PMB. Ia juga banyak melihat
pamflet dan poster ajakan berorganisasi tertempel mengotori dinding-dinding
kelas dan batang pepohonan. Tidak hanya itu, banyak juga bendera dengan ragam
warna berkibar dengan angkuh, seolah tak melihat merah putih tengah sayup di
atasnya.
Tak berselang kemudian, Anwar
termangu, gitar ia letakkan di bangku taman, sembari ia membakar sebatang rokok
Surya 16 yang ia utangi di Bunda Ria, ibu kantin aduhay, dengan status janda beranak satu.
Ia memperhatikan
mahasiswa-mahasiswi baru tersebut, memandangi jeli raut wajah mereka. “wajah-wajah belum penuh dosa....”, bisik
Anwar di antara riuh renda kampus.
Anwar melihat jelas wajah-wajah
yang lugu dan polos belum tersentuh dosa-dosa kampus, seperti mahasiswi yang
rela dikencani seniornya, hanya untuk
mengangkat famor di antara teman seangkatan, atau mahasiswi yang rela
memperlihatkan belahan dadanya untuk meminta perbaikan nilai oleh dosen bejat
yang banyak berkeliaran di lorong-lorong kampus, atau mahasiswi yang mencoba
membohongi orang tuanya, meminta kiriman uang dengan alasan membeli
perlengkapan kampus atau pembayaran study
tour padahal ia gunakan untuk membeli alat make up yang baru, belum
lagi mahasiswi yang tinggal sekamar-kosan dengan pacarnya, bahkan
berbulan-bulan lamanya.
Begitu juga mereka mahasiswa yang
belum mengenal permainan politik praktis kampus yang dengan mudah menggelapkan
uang apa lagi jika menjabat di suatu lembaga kampus, atau mahasiswa yang
kemudian menjadi pentolan kampus, kemudian suatu waktu memimpin aksi dan
diam-diam menerima sogokan dari pemerintah untuk kemudian menenangkan massa
aksi atau bahkan membatalkan aksinya, atau mahasiswa yang kemudian tanpa dosa
menjual intelektualnya sebagai alat untuk menarik simpati dari mahasiswi
junior, setelahnya dipacari kemudian ditiduri. “bgsd men tong..!” tutup Anwar, kemudian ia ambil kembali gitar dan
melanjut senandungnya.

0 Komentar